Ekspansi Usaha Dengan Obligasi Syariah

Jakarta, Sebuah perusahaan perseroan syariah, ingin mengembangkan sayap usahanya. Untuk melakukan hal itu, perusahaan memerlukan modal yang sangat besar. Pimpinan perusahaan bingung, bagaimana cara mengupayakannya? Akhirnya dilakukanlah sebuah rapat komisaris perusahaan yang terdiri atas sejumlah perwakilan pemilik modal. 

 
Karena tujuan utama rapat adalah upaya mencari jalan keluar soal hambatan dana untuk mengembangkan usaha, maka materi yang dibahas di dalam rapat pasti akan berkisar seputar tiga persoalan ini, yaitu: 
 
Pertama, upaya melihat simpanan hasil usaha/laba usaha perusahaan lalu mengukur seberapa kekuatannya bila dibandingkan dengan kebutuhan proyek pengembangan yang hendak dijalankan. Dalam ranah musyarakah musahamah, cara pertama ini merupakan cara yang tidak banyak risiko dan cara yang paling mudah dan praktis. Selain pengembang tidak perlu mendapatkan dana dari luar perusahaan, komposisi saham kepemilikan modal antara masing-masing pemodal juga tidak ikut bertambah. 
 
Problem barangkali terjadi karena faktor tidak semua pemodal menyetujui penggunaan laba perusahaan sebagai modal pengembangan. Bisa jadi dalam perusahaan, ada pemodal yang menghendaki agar laba perusahaan dibagikan saja kepada pemodal sebagai deviden (sisa hasil usaha). Oleh karena itu, syarat agar mekanisme ini bisa dilaksanakan, pihak pengembang hanya memerlukan langkah melakukan rapat bersama untuk membahasnya. Bila sebagian pemodal menyetujui sementara sebagian lain tidak menyetujui, maka imbasnya adalah komposisi kepemilikan saham dan modal menjadi berubah.
 
Kedua, jika mengambil dari laba/keuntungan perusahaan tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka upaya lain mengatasi besarnya kebutuhan biaya adalah dengan menerbitkan efek berupa obligasi atau saham. Jika menerbitkan obligasi, berarti perusahaan syariah sejatinya sedang berutang ke pihak lain yang mana kelak bila jatuh tempo, pihak yang menerbitkan obligasi (emiten) wajib untuk mengembalikan dana tersebut disertai dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Lho, ini kan riba!? Tunggu dulu. Kita akan lihat dulu bagaimana bentuk akadnya.
Perlu diketahui bahwa obligasi adalah surat berharga yang berupa nota pengakuan utang oleh perusahaan penerbit (emiten) kepada “pihak yang diutangi” (pemegang obligasi). Perumpamaannya adalah perusahaan butuh dana untuk ekspansi usaha. Karena jumlah kebutuhan dananya yang besar, maka tidak mungkin ia meminjam ke satu pihak saja. Sebut misalnya butuh dana 8 triliun rupiah. Berapa orang yang punya uang 8 triliun dari 1 juta penduduk suatu daerah? Tentu tidak banyak, bukan? Karena dana tersebut sangat besar, maka dilakukanlah pinjam dana secara berjamaah. Caranya, 8 triliun rupiah kebutuhan dana dirupakan efek yang berupa lembar surat berharga pengakuan utang. Surat berharga inilah yang selanjutnya dinamakan obligasi. Jika diterbitkan 1.000 lembar obligasi, maka itu berarti per lembar obligasi bernilai sebesar 8 miliar rupiah. Jika diterbitkan 1 juta lembar obligasi, maka per lembar obligasi bernilai 8 juta rupiah. Karena obligasi ini adalah pada dasarnya adalah pengakuan utang, maka sudah pasti ada masa jatuh tempo pengembalian utang oleh pihak penerbit obligasi (emiten) kepada pemegangnya. 
 
Kita simpulkan terlebih dahulu unsur-unsur yang terdapat di dalam obligasi. Dengan demikian, unsur-unsuryang termuat di dalam obligasi terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
 
1. Nilai per lembar obligasi
2. Masa jatuh tempo
 
Manusia adalah makhluk ekonomi. Dalam setiap geraknya, ia senantiasa berpikir bagaimana uang yang dikeluarkan juga memiliki imbal balik berupa nilai keuntungan bagi dirinya. Uang 8 triliun bukanlah uang yang berjumlah sedikit dan tidak banyak pihak yang memilikinya. Beberapa kasus yang melibatkan terjadinya korupsi hingga mencapai triliunan rupiah juga disebabkan karena watak dasar itu sehingga tugas para fuqaha’ adalah menyikapi watak dasar itu menjadi sesuai dengan syariah. 
 
Pengembalian utang dengan menetapkan persentase keuntungan di awal adalah tidak mungkin karena menabrak rambu-rambu riba. Solusi agar dapat keluar adalah dengan jalan bagi hasil. Oleh karenanya, maka di dalam obligasi syariah, selain kedua unsur yang sudah kita sebut di muka, maka di dalamnya bertambah dengan unsur besaran nisbah pembagian keuntungan selama utang dalam bentuk obligasi tersebut masih dipegang oleh yang bersangkutan dan belum tiba masa jatuh tempo. Dengan demikian unsur yang terdapat di dalam obligasi akan berubah menjadi seperti berikut ini:
 
• Nilai per lembar obligasi
• Masa jatuh tempo obligasi, dan
• Besaran nisbah pembagian keuntungan
 
Kalau begitu, apa beda antara saham dan obligasi?
 
Saham merupakan surat berharga yang berisi pernyataan pengikutsertaan modal ke sebuah perusahaan oleh pemegangnya. Oleh karenanya, ia berhak mendapatkan pembagian deviden dari perusahaan sesuai dengan nisbah modal yang dia miliki. Sementara itu, obligasi adalah surat pernyataan utang perusahaan (emiten) ke pemegang obligasi. Karena ia berisi pernyataan utang, maka pada dasarnya ia tidak dapat terlibat di dalam kerugian. Dengan begitu tidak boleh ditentukan besar imbal jasa. Masalahnya adalah, apa mungkin jika uangnya besar? Jika tidak mungkin, bagaimana supaya menjadi boleh?
 
Persoalan-persoalan tidak bisa terlibat di dalam kerugian inilah yang nantinya akan menjadi problem sah atau tidaknya obligasi di dalam praktik transaksi syariah. Bagaimana uraian lebih lanjut? Tunggu pembahasan di kanal ekonomi syariah berikutnya! Insyaallah
 
Wallahu a’lam bi al-shawab
 
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
 
Artikel ini juga dapat diakses di www.nu.or.id
.

Postingan Terkait

.

Komentar

Detail Post

Tanggal Publish

05 July 2018 09:30WIB

Kategori

Opini