Desa Global Dan The New Normal
Dalam presentasi di Palladium Group Executive Briefing beberapa tahun lalu di Perth, Australia, yang juga saya hadiri, Yvonne Butler yang Principal di The Palladium Group Asia Pacific menyuguhkan sebuah pertanyaan baru di hadapan sejumlah petinggi perusahaan di Australia. Apakah definisi normal yang dikenal di dunia bisnis saat ini? Pemicu pertanyaan tersebut akibat perubahan sangat cepat puluhan ribu perusahaan besar dunia sejak kejatuhan Lehman Brothers beberapa tahun sebelumnya.
Haruskah definisi berubah untuk menyikapi perubahan cepat itu? Hampir semua peserta briefing sependapat, tanpa harus menunggu kejatuhan Lehman Brothers para eksekutif top sudah harus bergelut dengan perubahan yang terjadi setiap pekan di pasar, di dalam industri dan dunia usaha. Sehingga mereka sudah terbiasa beradaptasi. Bagi mereka, normal tetaplah normal.
Namun, inilah yang dimaksud oleh Yvonne Butler: hari ini perekonomian mikro (bisnis) menuntut lebih banyak transparansi (transparency), keterbukaan (disclosure), dan tingkat koordinasi yang lebih tinggi, serta sumber daya manusia di tingkat eksekutif yang lebih mumpuni. Dengan semakin lekatnya upaya digitalisasi ekonomi dan bisnis, konsekuensi tuntutan di atas adalah meningkatnya campur tangan tak langsung pemerintah di dunia usaha. Yakni, lewat kebijakan yang menyangkut dinamika perekonomian mikro yang akhirnya menjadi rutinitas sehari-hari.
Parlemen menjadi lebih sibuk mengevalusi kebijakan yang ada, lalu dalam kadar tertentu menyesuaikan dengan apa yang terjadi pada perekonomian. Misalnya, apakah sebuah perusahaan aplikasi ride sharing atau room sharing harus ada di bawah pengawasan kementrian transportasi atau pariwisata, atau bagaimana?
Sebagian argumentasi sudah berakhir dengan ketok palu kebijakan baru yang lebih kekinian. Inilah pertanda yang ditampilkan oleh the new normal. Sebuah gambaran global village, desa global, yang membawa paradoks dalam dirinya sendiri.
Mari kita elaborasi. Sekitar dua dekade lalu istilah Economy diberi adik kandung yang bernama The New Economy oleh Paul Ormerod. Wacana ini mengundang bahan olok-olok di berbagai belahan dunia, terutama di Amerika Utara dan Eropa Barat. Masalahnya, tak ada yang terlalu signifikan yang bisa dianggap baru dalam New Economy selain penekanannya pada ketidakpastian atau uncertainty sebagai rutinitas baru bagi para pengambil kebijakan. Sama seperti wacana the new normal-nya Yvonne Butler, insignificant menjadi isu utama. Namun apakah benar demikian?
Menurut pandangan saya, pada tingkat pemerintahan yang mengelola jalannya perekonomian nasional, the new normal harus dipandang sebagai lampu kuning. Uncertainty dalam New Economy yang ditekankan Paul Ormerod hari ini terjadi di dalam perekonomian mikro dan dunia usaha. Dengan tingkat ketidakpastian yang seolah menjadi rutinitas, perusahaan yang berusia lebih dari seratus tahun berpotensi kolaps. Perusahaan dalam daftar Fortune 500 di tahun 2000, hari ini tinggal sekitar separuhnya saja.
Jadi "museum kosakata"
Bulan April lalu saya mengikuti sebuah pelatihan pengembangan profesional di Silicon Valley untuk belajar memprediksi masa depan melalui beberapa protokol. Salah satunya kejelian membaca sinyal perubahan jauh sebelum benih perubahan ditabur perusahaan teknologi dunia.
Rupanya istilah new normal sangat dikenal di sana. Karena setiap hari selalu ada penemuan teknologi baru. Tak dapat dipungkiri, Silicon Valley telah mengubah banyak model bisnis yang membunuh banyak bisnis konvensional sekaligus membuka bisnis-bisnis baru. Anehnya, dalam pelatihan itu murni hanya memakai sudut pandang industri, bisnis, dan ahli teknologi. Tak ada yang tertarik membahas sudut pandang regulasi dan ekuilibrium perekonomian yang kemungkinan terdampak.
Perusahaan perintis aplikasi ride-sharing terbesar yang bermarkas di San Fransisco misalnya, di tahun-tahun pertamanya telah mengambil alih bisnis taksi konvensional dan mengundang demo besar-besaran di Amerika Utara serta berbagai negara Eropa. Apakah Silicon Valley peduli? Tidak.
Seleksi alam versi Silicon Valley adalah perwujudan konsekuensi dari desa global, berbeda dengan pendekatan para regulator di berbagai negara yang berkonsep nation-state dan sovereign. Seleksi alam versi Silicon Valley (dan beberapa duplikatnya di sepanjang pesisir China, Eropa Barat, Eropa Timur, serta Asia Tenggara) telah menciptakan warga desa global yang memiliki kewarganegaraan virtual yang tak mau dipengaruhi oleh status kewarganegaraan nation-state mereka. Inilah new normal itu.
Dan lagi-lagi para regulator tertinggal sekian langkah untuk memastikan ekuilibrium buatan mereka dapat menangkal ekses sosial ekonomi warga negara mereka yang belum siap menjadi warga desa global.
Suka atau tidak, setiap hari kita harus bisa hidup dengan situasi new normal. Selalu siaga akan perubahan jangka pendek, tetapi tetap punya visi jangka panjang. Masyarakat yang sudah melek kemajuan dan mau menerimanya pun ikut mengubah dinamika bisnis dan perekonomian dengan menuntut layanan yang lebih personal, lengkap, dan terintegrasi dengan rangkaian ekosistem di mana mereka tinggal dan bekerja.
Di dalam new normal, kepraktisan adalah faktor penting. Istilah mengantre, datang dua kali untuk satu urusan, keluar rumah untuk mendapatkan layanan, cepat atau lambat hanya akan menjadi koleksi dari "museum kosa kata". Generasi setelah milenial mungkin tak akan lagi menggunakan kata-kata seperti itu.
Seperti olok-olok yang ditujukan kepada Ormerod yang memperkenalkan istilah New Economy, atau mengulangi frasa Yvonne Butler, tampaknya tak ada hal baru dari New Economy atau new normal. Dan, di sinilah sumber masalahnya, karena kejelian kita melihat detail perubahan menjadi lemah. Bukankah sebuah pepatah purba telah menasihatkan kepada kita semua, "the devil is in the detail?"
Para pembaca yang budiman, silakan googling di internet apa yang bisa dilakukan oleh AI/deep learning machine kepada kita. Saya sudah melihatnya sendiri di Silicon Valley, dan lutut saya gemetar memikirkan apakah anak dan cucu kita masih berkesempatan mencari kerja di dunia ketika new normal berubah tak hanya setiap bulan, tapi malahan setiap menit.Apapun risiko itu, kita harus berbuat sesuatu hari ini. •
AC Mahendra K. Datu
Praktisi Pengembangan Usaha dan Inovasi Korporat
Artikel ini juga dapat diakses di kontan.co.id