Cukai Hasil Tembakau Digunakan Untuk Danai Puskesmas

Jakarta, Pemerintah mengungkap dana bagi hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) minimal 50%  untuk menunjang kinerja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dilaksanakan sejak awal tahun 2018. Mekanismenya tetap sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

 
 
Direktur Perimbangan Direktorat Jendral Perimbangan Kementerian Keuangan, Putut Hari Satyaka, menegaskan DBH CHT tidak diperuntukan guna menutupi defisit BPJS Kesehatan.
 
Dia menjelaskan terdapat beberapa bauran kebijakan untuk menutupi defisit BPJS. 
 
Putut pun mengakui awalnya CHT akan digunakan untuk menutupi defisit, tetapi tidak jadi dilaksanakan. Sebab, tidak semua daerah menghasilkan DBH CHT.
 
"Sehingga kalau CHT digunakan untuk menutupi defisit BPJS itu tidak adil untuk daerah penghasil tembakau, sementara daerah lain tidak, karena BPJS itu program nasional, Memang akhirnya tidak untuk menutup defisit BPJS," ungkapnya kepada Bisnis di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Selasa (10/7/2018).
 
Akhirnya kebijakan alokasi dana bagi hasil CHT digunakan untuk mendukung program JKN melalui supply side, yakni dengan mendorong perbaikan fasilitas kesehatan tingkat I seperti Puskesmas.
 
Mantan Sekretaris Direktur Jendral Keuangan ini menjelaskan pemerintah daerah dapat menggunakan alokasi tersebut termasuk penggunaan untuk promosi kesehatan, perbaikan sumberdaya manusia (SDM) kesehatan melalui pelatihan kesehatan.
 
"Logikanya jika pelayanan kesehatan tingkat I sudah baik, maka rujukan ke rumah sakit berkurang. Sehingga kalau rujukan-rujukan itu semakin kecil, biaya yang harus ditanggung BPJS semakin kecil," jelasnya.
 
Dengan begitu menurutnya, cukai hasil tembakau secara tidak langsung membantu mengurangi defisit BPJS dalam jangka menengah.
 
Putut pun menjelaskan praktik ini sudah sesuai dengan Undang-undang No.39 tahun 2007 tentang Cukai. Dalam aturan tersebut, cukai hasil tembakau hanya boleh digunakan untuk 5 hal, yakni perbaikan kualitas bahan baku rokok, peningkatan bahan baku di daerah, sosialisasi cukai hasil tembakau, kemudian pemberantasan cukai ilegal, dan lingkungan sosial.
 
Lingkungan sosial ini termasuk di dalamnya kesehatan. Artinya, kebijakan ini menjadi penjabaran dari UU tersebut, pemerintah memastikan 50% DBH CHT digunakan untuk alokasi lingkungan sosial yang dikhususkan untuk perbaikan pelayanan kesehatan tingkat I.
 
Sebagaimana jumlah daerah penghasil tembakau, tidak seluruh daerah mendapatkan kebijakan ini. Daerah yang menerima kebijakan ini pun hanya 18 provinsi. 
 
Terkait jumlah CHT yang sudah dikembalikan Putut belum dapat memberikan angka, karena data pengawasannya baru dia terima.
 
"Kamipun melakukan monitoring semester I ini baru masuk laporannya, daerah patuh atau tidak pada kebijakan ini. Kemudian kementerian keuangan tengah mendesain PMK (peraturan Menteri Keuangan) mengenai mandatory pending, kalau belum sesuai nanti ada sanksi tertentu," paparnya.
 
Setidaknya, menurut data Kemenkeu, hingga Juni lalu, realisasi DBH mencapai Rp34,3 triliun atau lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2017  yang realisasinya mencapai Rp49,7 triliun. 
 
Alokasi DBH dalam APBN 2018 sebesar Rp89,2 triliun yang terdiri dari DBH Pajak sebesar Rp56,7 triliun dan DBH sumber daya alam sebesar Rp32,5 triliun.
 
Dia pun menjelaskan pemerintah daerah melalui kebijakan ini tidak perlu mengubah APBD yang sudah ada. Secara alami, pengubahan kebijakan ini dapat dimasukan dalam penjabaran APBD seperti aturan DAK.
 
Lebih lanjut, Putut memaparkan DBH CHT ini dapat dimasukan sebagai bagian dari 10% dana kesehatan APBD, yang penting sesuai aturan 50% CHT digunakan untuk membantu JKN dan anggaran kesehatan di APBD minimal 10%.
 
"Jadi sangat mungkin akan ada daerah yang anggaran kesehatannya meningkat atau ada dana kesehatan yang dialihkan ke sektor lain," imbuhnya.

 

Sumber: bisnis.com

.

Postingan Terkait

.

Komentar

Detail Post

Tanggal Publish

11 July 2018 09:45WIB

Kategori

News