Defisit Perdagangan 2018 Mencerminkan Ekonomi Di Tepi Jurang: Ijon Pinjaman Ilegal?

Di tengah eforia penguatan kurs rupiah belakangan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) secara mengejutkan mengumumkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 mengalami defisit lagi. Bahkan defisit pada November 2018 ini merupakan salah satu defisit terburuk selama 5 tahun terakhir ini. Defisit neraca perdagangan November 2018 ini sangat mengkhawatirkan dan mengundang tanda tanya besar atas kemampuan Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia.

Pasalnya, defisit neraca perdagangan pada November 2018, dan sepanjang 11 bulan 2018 (Year to date, YTD), mencerminkan struktur ekonomi Indonesia sangat rapuh dan sedang berada di tepi jurang kehancuran. Pemerintah sepertinya kehabisan akal dan tidak berdaya meningkatkan kinerja ekonomi Indonesia, dan tidak berdaya meningkatkan kinerja ekspor impor Indonesia. Semua upaya untuk meningkatkan ekspor, atau meredam impor, sudah dilakukan, namun tanpa hasil. Bahkan defisit neraca perdagangan pada bulan November 2018 melebar dan menjadi yang terburuk kedua sepanjang sejarah (setelah defisit Juli 2013).

Struktur ekonomi Indonesia dikatakan sangat rapuh dengan alasan sebagai berikut. Pertama, di tengah anjloknya harga minyak mentah dunia pada November 2018 dibandingkan dengan Oktober 2018, defisit neraca perdagangan migas malah meningkat dari defisit 1,38 miliar dolar AS (Oktober 2018) menjadi defisit 1,46 miliar dolar AS (November 2018). Padahal harga minyak mentah dunia rata-rata November 2018 turun 19 persen dibandingkan harga rata-rata Oktober 2018: Harga Brent rata-rata November 2018 sebesar 65,17 dolar AS per barel, sedangkan harga rata-rata November sebesar 85,47 dolar AS per barel.

Kedua, neraca perdagangan nonmigas pada November 2018 mengalami defisit lagi sebesar 583,2 juta dolar AS, meningkat dibandingkan defisit pada Oktober 2018 sebesar 393,1 juta dolar AS. Dan defisit ini merupakan defisit yang ke lima dalam sebelas bulan 2018. Sungguh sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, daya saing produk Indonesia patut dipertanyakan.

Total defisit neraca perdagangan 2018 secara kumulatif hingga November 2018 sebesar 7,5 miliar dolar AS, dengan ekspor sebesar 165,8 miliar dolar AS dan impor sebesar 173,3 miliar dolar AS. Defisit 2018 ini sangat buruk, dan terburuk sepanjang sejarah. Defisit tersebut terdiri dari defisit migas sebesar 12,1 miliar dolar AS dan surplus nonmigas sebesar 4,6 miliar dolar AS. Dengan surplus neraca perdagangan nonmigas sebesar ini, maka ekonomi Indonesia pasti akan mengalami kesulitan yang sangat serius. Bahkan 5 bulan terakhir (Juli – November) 2018, neraca perdagangan nonmigas hanya membukukan surplus 118 juta dolar AS saja.

Jelas surplus tersebut tidak dapat menutupi defisit migas yang semakin lama semakin besar karena kebutuhan migas nasional meningkat terus, dan juga tidak dapat menutupi neraca perdagangan jasa yang selalu mengalami defisit cukup besar setiap tahunnya.

Sebagai perbandingan, ekspor Vietnam selama 11 bulan tahun 2018 sebesar 224,6 miliar dolar AS, jauh lebih besar dari ekspor Indonesia, dan membukukan surplus neraca perdagangan sebesar 6,8 miliar. 

Dengan kinerja ekspor-impor Indonesia seperti digambarkan di atas maka neraca transaksi berjalan (neraca perdagangan barang dan jasa, pendapatan primer dan pendapatan sekunder) dapat dipastikan akan semakin melebar, dan bisa melebihi 3 persen dari PDB. Dalam kondisi seperti ini, ekonomi Indonesia dan kurs rupiah sangat tergantung dari aliran masuk dolar melalui transaksi finansial khususnya investasi portfolio (saham dan surat utang). Anehnya, kurs rupiah belakangan ini sempat menguat mencapai Rp14.400 per dolar AS di tengah neraca perdagangan yang memburuk. Kok bisa? Apakah ini akibat pemerintah mengambil pinjaman dimuka sebesar 3 miliar dolar AS yang katanya untuk membiayai defisit APBN 2019? Istilahnya pre funding, atau dalam bahasa sederhannya ijon pinjaman.

Pertanyaannya, apakah pemerintah boleh mengambil pinjaman saat ini (sekarang) untuk membiayai defisit tahun depan? Bagaimana masyarakat tahu bahwa pinjaman saat ini tersebut sebenarnya digunakan untuk membiayai belanja periode saat ini atau periode tahun depan? Bukankah modus seperti ini sangat tidak bertanggung jawab karena biaya pinjaman menjadi sangat mahal karena harus bayar biaya bunga sejak sekarang? 

Secara akuntansi keuangan negara, pinjaman yang dilakukan pada periode saat ini seharusnya dihitung sebagai pinjaman untuk periode saat ini juga. Artinya, keuangan negara tidak mengenal, atau tidak membolehkan, pre funding atau ijon pinjaman. Bagaimana pendapat DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) atau BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), apakah ijon pinjaman tidak melanggar prosedur keuangan negara? Mohon penjelasannya.

Anthony Budiawan

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

.

Postingan Terkait

.

Komentar

Detail Post

Tanggal Publish

31 December 2018 14:15WIB

Kategori

Opini