Ekonomi Indonesia 2030: Mimpi Ala McKinsey – Bagian (1)

September 2012, konsultan manajemen ternama dunia asal Amerika Serikat, McKinsey, memprediksi Indonesia bisa melompat menjadi nomor 7 kekuatan ekonomi terbesar dunia, dari posisi 16 saat ini. Di dalam ramalannya, McKinsey mengasumsikan 5 faktor yang menjadi kekuatan ekonomi Indonesia untuk bisa melompat menjadi nomor tujuh terbesar dunia.

1. (Pertumbuhan) Ekonomi Indonesia relatif stabil dibanding dengan negara-negara lain.

2. Pertumbuhan ekonomi sudah terdistribusi dengan baik, bukan hanya tersentralisasi di Jakarta.

3. Pertumbuhan Indonesia mengandalkan ekspor (export-driven) seperti halnya Asian Tiger pada tahun 1970-an, 1980-an.

4. Struktur Ekonomi  Indonesia sudah tidak tergantung sektor primer atau sumber daya alam (primary sector), tetapi lebih mengandalkan sektor jasa (tertiary sector) seperti perdagangan, transportasi, atau telekomunikasi yang berkembang lebih cepat.

5. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan hanya dari penambahan tenaga kerja, tetapi kontribusi terbesar berasal dari peningkatan produktivitas tenaga kerja (labor productivity).

Setelah 6 tahun berlalu, kebanyakan asumsi di atas tidak menjadi kenyataan, bahkan berlawanan.

1. Ekonomi Indonesia sejak 2012 ternyata sangat tidak stabil. Bukan saja pertumbuhan ekonomi yang melambat, nilai tukar rupiah juga terdepresiasi sangat tajam. Kurs acuan Bank Indonesia (JISDOR) pada 30 Desember 2011 sebesar Rp9.068 per dolar AS, terdepresiasi 68 persen menjadi Rp15.253 per 11 Oktober 2018.

2. Pertumbuhan ekonomi di luar Jawa lebih disebabkan oleh boom komoditas (minyak sawit, karet, batubara). Ketika harga komoditas tersebut anjlok maka pertumbuhan di luar jawa juga merosot tajam.

3. Sampai tahun 2011, ekspor Indonesia memang cukup tinggi akibat harga komoditas yang tinggi. Sejak harga komoditas anjlok tahun 2012, ekspor Indonesia turun dari 203 miliar dolar AS pada 2011 menjadi 145 miliar dolar AS pada 2016, mengakibatkan neraca transaksi berjalan defisit hingga sekarang. Neraca perdagangan juga anjlok dari surplus 33,83 miliar dolar AS pada 2011 menjadi defisit 4,09 miliar dolar AS selama 8 bulan pertama 2018. Jadi, jelas export-driven growth yang diasumsikan oleh McKinsey berlawanan dengan fakta.

4. Struktur ekonomi Indonesia cukup kontroversial. Untuk domestik, pertumbuhan ekonomi memang bergeser ke sektor tertier. Tetapi untuk ekspor, Indonesia masih sangat mengandalkan sektor primer alias sumber daya alam, khususnya Batubara, kelapa sawit, karet. Begitu harga-harga komoditas tersebut anjlok maka ekspor turun, dan juga akan menyeret pertumbuhan ekonomi turun.

5. Klaim McKinsey bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk periode 2000-2010 didukung oleh peningkatan labor productivity perlu diuji kebenarannya. Alasannya, secara alami, peningkatan skala ekonomis di sektor padat modal seperti telekomunikasi akan meningkatkan output dan labor productivity. Tetapi, merujuk indeks ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang meningkatkan tajam (baca: memburuk) dari 3,8 pada 2011 menjadi sekitar 6,4 pada 2017 menunjukkan produktivitas ekonomi secara keseluruhan turun. Penurunan output (dan ICOR) ini akibat dari anjloknya harga-harga komoditas, yang menunjukkan ekonomi Indonesia masih didominasi oleh sektor komoditas.

Berdasarkan data Bank Dunia, PDB Indonesia tahun 2011 sebesar 893 miliar dolar AS. Pada 2017, PDB Indonesia meningkat menjadi 1.016 miliar dolar AS, atau hanya bertumbuh 13,77 persen selama 6 tahun, atau 2,17 persen per tahun (compound). Pertumbuhan yang sangat rendah selama 6 tahun ini disebabkan karena kurs rupiah terdepresiasi tajam. Hal ini tidak diperhitungkan oleh McKinsey yang mengasumsikan pertumbuhan ekonomi riil Indonesia rata-rata sebesar 5 sampai 6 persen, bahkan 7 persen, per tahun hingga 2030. Dibandingkan dengan ekonomi Brasil yang saat ini berada di nomor delapan terbesar dunia dengan PDB sebesar 2.056 miliar dolar AS, Indonesia masih jauh tertinggal. Meskipun ekonomi Brasil anjlok tajam dari 2.616 miliar dolar AS pada 2011. 

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini juga masih tidak stabil. Krisis neraca pembayaran dan krisis finansial membayangi perekonomian Indonesia yang dapat membuat kurs rupiah anjlok lebih tajam lagi. Selama 8 bulan 2018 (Januari-September), neraca pembayaran sudah membukukan defisit 17 miliar dolar AS. Oleh karena itu, prediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor tujuh dunia mungkin hanya impian saja. Terima kasih kepada McKinsey yang sudah memberi harapan mimpi.

Catatan: Selanjutnya, bagian (2) dari tulisan berseri ini akan membahas prediksi ekonomi Indonesia 2050 oleh PwC, dan bagian (3) penulis akan membuat prediksi ekonomi Indonesia 2030.

 

Anthony Budiawan

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Sumber: watyutink.com

.

Postingan Terkait

.

Komentar

Detail Post

Tanggal Publish

17 October 2018 21:15WIB

Kategori

Opini