Ekonomi Indonesia 2030: Ilusi Ala PwC – Bagian (2)

February 2017, PricewaterhouseCoopers (PwC) menerbitkan hasil studi yang memetakan posisi ekonomi global berjudul The Long View: How Will the Global Economic Order Change by 2050? Dalam studi ini, PwC menempatkan Indonesia di nomor lima ekonomi dunia pada 2030, dan nomor empat pada 2050, berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam dolar AS, dengan menggunakan nilai tukar PPP (Purchasing Power Parity) atau perseimbangan daya beli.

Kurs PPP berbeda dengan kurs pasar (Market Exchange Rate, MER) karena kurs PPP membandingkan mata uang antarnegara melalui daya beli atas satu paket barang dan jasa sejenis di kedua negara tersebut.

Sebagai contoh, makan di restoran di Amerika Serikat menghabiskan 10 dolar AS per orang dan makan di restoran yang sejenis di Indonesia hanya menghabiskan Rp60.000 per orang, maka kurs rupiah berdasarkan PPP adalah Rp6.000 per dolar AS (10 dolar AS = Rp60.000; 1 dolar AS = Rp6.000).

Dalam praktiknya, perseimbangan daya beli diukur melalui tingkat inflasi atau Indeks Harga Konsumen (IHK) di masing-masing negara. Sebagai konsekuensi, hanya ada satu kurs PPP dalam setahun karena IHK dihitung satu kali dalam setahun.

Kurs PPP 2016 Rp4.092 per dolar AS dan 2017 Rp4.190 per dolar AS, melemah hanya 2,4 persen saja. Sedangkan, kurs MER saat ini sekitar Rp15.200 per dolar AS, selisihnya sangat besar. Oleh karena itu, PDB Indonesia tahun 2017 berdasarkan MER (harga konstan dolar AS per 2010) hanya 1,09 triliun dolar AS, dan berdasarkan PPP (harga konstan internasional dolar AS per 2011) melonjak menjadi 2,95 triliun dolar AS. Posisi Indonesia berdasarkan MER tahun 2017 ada di nomor 16 dunia, sedangkan berdasarkan PPP di nomor 8 dunia, dan menurut PwC akan naik ke nomor 5 dunia tahun 2030.

Hasil studi PwC yang menempatkan posisi ekonomi dunia, khususnya Indonesia dan negara-negara berkembang, berdasarkan PDB (PPP) tidak relevan sama sekali di dunia nyata. Sekali lagi, kurs PPP mencoba menyamakan nilai mata uang di kedua negara berdasarkan perubahan IHK.

Di Indonesia --dan juga di AS-- komponen IHK makanan termasuk telur dan daging ayam. Harga telur Oktober 2018 di tingkat grosir di AS sekitar 1,2 dolar AS per lusin (12 butir). Kalau menggunakan kurs PPP Rp4.190 per dolar AS  maka harga telur di Indonesia diperkirakan Rp5.028 per 12 butir, atau Rp419 per butir, atau sekitar Rp6.700 per kg. Apakah mungkin?

Jika menggunakan MER sebesar Rp15.000 per dolar AS, maka harga telur di AS tersebut ekuivalen Rp18.000 per 12 butir, atau sekitar Rp1.500 per butir, atau sekitar Rp24.000 per kg, di mana harga ini lebih mencerminkan harga telur saat ini di Indonesia. Jadi MER dalam hal ini justru lebih mencerminkan kebenaran daripada kurs PPP.

Untuk daging ayam, harga ayam utuh (whole chicken) di AS pada Oktober 2018 sekitar 2,6 dolar AS per kg. Dengan menggunakan kurs PPP, harga ayam utuh di Indonesia diharapkan Rp10.895 per kg (2,6 x Rp4.190,49), sangat jauh dari fakta di lapangan.

Kedua contoh di atas menunjukkan penggunaan kurs PPP sangat tidak relevan sehingga penyusunan posisi ekonomi Indonesia di tengah ekonomi global menurut PDB PPP tidak mempunyai dasar sama sekali. Oleh karena itu, ekonomi Indonesia tahun 2017 yang menempati nomor delapan dunia berdasarkan PDB PPP tidak mempunyai makna sama sekali, alias hanya ilusi.

Terakhir, mari kita tinjau latar belakang teori PPP. Teori PPP mengatakan bahwa inflasi menentukan kurs, bukan sebaliknya. Di lain pihak, menurut teori Balance of Payment (BoP), kurs ditentukan oleh BoP (Neraca Pembayaran). Jika BoP surplus maka kurs menguat. Sebaliknya, jika BoP defisit maka kurs melemah.

BoP Indonesia defisit cukup besar tahun ini yang membuat kurs rupiah tembus Rp15.200 per dolar AS. Dan kurs dolar AS yang tinggi pada gilirannya akan mengakibatkan inflasi. Jadi, menurut teori BoP, kurs turut menentukan tingkat inflasi, bukan inflasi yang menentukan kurs.

Permasalahan lainnya, studi PwC ini mengasumsikan tren pertumbuhan jangka panjang yang terjadi pada periode sebelumnya diharapkan terulang lagi sampai 2050. Apakah asumsi ini valid? Apakah ekonomi Indonesia masih dapat bertumbuh dengan tingkat pertumbuhan cukup tinggi seperti pada periode sebelumnya? Sangat diragukan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2030 sepertinya akan lebih lambat dari periode sebelumnya terutama apabila tidak ada perubahan signifikan atas kebijakan ekonomi Indonesia saat ini. Topik ini akan dibahas di tulisan selanjutnya (bagian 3 dari tulisan ini).

Kesimpulan, penyusunan posisi ekonomi global oleh PwC yang menempatkan Indonesia menjadi negara nomor empat dunia pada 2050 tidak bermakna sama sekali, penuh ilusi.

 

Anthony Budiawan

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Sumber: www.watyutink.com

.

Postingan Terkait

.

Komentar

Detail Post

Tanggal Publish

17 October 2018 21:15WIB

Kategori

Opini